oleh
Sigit Rahmanto
Abstrak
Konflik Moro di Mindanau Filipina
Selatan merupakan sebuah konflik yang
terjadi berkepanjangan. Akar dari masalah konflik ini berawal sangat jauh yakni
pada masa kolonialisme Spanyol yang ada di Filipina. Berlanjut lagi konflik ini
pada masa Penjajahan Amerika kemudian Jepan dan pada masa setelah Filipina
Merdeka. Isu-isu
agama yang diawal dalam konflik
ini membuat konflik ini semakin memanas.
Konflik ini akan terus berlanjut apabila kamu minoritas muslim difilipina terus
mendapat tekanan-tekanan politik dari pemerintahan pusat. Satu kata yang mereka
tuntut hanyalah merdeka.
Kata Kunci : Moro , Konflik, Filipina
Kondisi Awal
Masyarakat Mindanao
Gambaran Masyarakat Mindanao sebelum
Islam sangatlah memiliki pemahaman yang kuat terhadap tradisi yang telah lama
di lakukan oleh masyarakat Mindanao, yaitu tentang pemahaman antara makhluk
hidup dengan alam. Disana alam sangatlah dihargai dikarenakan alamlah yang
menentukan kehidupan dan kehidupan masyarakat Mindanao, alamlah yang memberikan
kehidupan bagi masyarakat. Moyang masyarakat Mindanao mitosnya dilahirkan dari
batu. Dalam konteks antropologi, masyarakat Mindanao awal dipahami sebagai
masyarakat animisme, yakni masyarakat yang mempercayai suatu benda memiliki
kekuatan yang besar dan lebih besar dari manusia yang bersumberkan dari alam.
Masyarakat animisme merupakan masyarakat cenderung
ramah terhadap alam, sehingga pola kehidupan ekonomi untuk memanfaatkan sumber
daya alam tidak terlalu eksploitatif. Alam diyakini akan memenuhi segala
kebutuhan hidup dan lain-lainnya masyarakat Mindanao, oleh karena itu
masyarakatnya tidak terlalu melakukan eksploitasi kepada alam. Corak ekonomi
masyarakat Mindanao cenderung mengarah pada pola ekonomi subtensi, pola hidup
yang lebih menekankan kepada upaya memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhan
yang paling mendasar saja.
Masyarakat Mindanao lebih dikenal sebagai masyarakat
agraris daripada masyarakat pantai. Hal ini dikarenakan masyarakat Mindanao
lebih banyak tinggal di daerah sekitar pegunungan atau sekitar danau, untuk
menghindari meluapnya air laut maupun air sungai. Pilihan ini tidak bisa
dilepaskan dari kondisi geografis Mindanao sebagai daerah banjir, maka dari itu
makna dari kata Mindanao adalah “daerah banjir”. (Suwardono, 2013:29)
Tradisi perdagangan di Mindanao masih menggunakan
system barter. Namun setelah datangnya Islam, masyarakat Mindanao dikenalkan
dengan system tukar menukan menggunakan uang dan dikenalkan system kapal,
sehingga masyarakat Mindanao bisa melakukan perdagangan dengan masyarakat dari
pulau lain.
Kepemimpinan di Mindanao sebelum datangnya Islam ialah
dipimpin oleh seorang Datu, yakni seorang pemimpin tradisional yang memiliki
kekuatan magis dan mampu mengelola tanah yang luas. Datu diyakini masyarakat
sebagai seseorang yang bisa mengetahui segala sesuatu, seperti kondisi alam dan
mengendalikan sesuatu. Hal ini menempatkan Datu sebagai sumber pengetahuan,
budaya dan tradisi di masyarakat Mindanao.
Sejarah masuknya Islam
masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada
tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja
Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan
tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja
Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).Ia tiba di
kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan
Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan
Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.
Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai
dirintis. Adapula pendapat yang lain mengenai masuknya Islam datang kekepulaun
Sulu. Bahwasannya Islam datang ke Sulu pada abad ke-9 melalui perdagangan. Tapi
itu tidak menjadi faktor yang penting dalam sejarah Sulu, sampai abad ke 13
ketika orang-orang menyebarkan Islam (da’i) mulai pertama kali tinggal di
Buasna (Jolo) kemudian di daerah-daerah lain kepulauan Sulu.
Islam di asia menurut Dr. Hamid mempunyai 3 bentuk
penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas penduduk.Kedua,
kelompok minoritas Islam.Ketiga, kelompok negera negara Islam tertindas.
Dalam bukunya yang
berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan
bahwa Islam di Philipina merukan salah satu kelompok minoritas diantara negara
- negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat
Philipina berjumlah 44.300.000 jiwa.Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000
jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan
mogondinao.
Hal itu pastinya tidak lepas dari sejarah latar
belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya
penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai saat
ini.
Sejarah masuknya Islam
masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada
tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja
Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di
kepulauan tersebut. Menurut catatan
sejarah,
Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau
(Sumatra Barat).Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil
mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja
kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari
Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini
mulai dirintis.Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan
hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj
dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.
Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang
berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.Setelah itu, Islam
disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai
lainnya.Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah
kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.Menurut ahli
sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah
(negeri Allah yang aman).Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat
tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen.
Mayoritas penduduk
Filipina beragama Katolik, walaupun katolik menjadi agama mayoritas, tetapi di
Filipina terdapat tiga ribu masjid, terutama di selatan. Muslim Filipina secara tradisional memerintah dan
menduduki pulau-pulau Mindanao, Sulu dan Palawan termasuk sebagian Manila dan
daerah-daerah pantai utara. Namun menurut Abdullah, Taufik (:341-342) sebagian
besar masyarakat Muslim terpusat di dua wilayah otonom Filipina Selatan. Penduduk Filipina
sekitar 85.236.900 juta pada tahun 2006 dan setiap tahunnya pertumbuhan
penduduknya 1,92% dengan luas wilayah 300.076 km terdiri dari 7.107 pulau.
Penduduknya terdiri dari beberapa suku yaitu suku Filipino 80%, Tionghoa 10%,
Indo Arya 5%, Eropa dan Amerika 2%, Arab 1%, suku lain 2%.
Kota Marawi dan Jolo
dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi komunitas muslim. Kitab suci
alQur’an telah diterjemahkan oleh dr.Ahmad Domacao Alonto kedalaam bahasa
Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan muslim kebanyakan muslim di Moro
adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak berarti.
Asosiasi islam yang paaling aktif adalah Asosiasi Muslim Filipina (Manila),
Ansar al Islam(Kota Marawi), Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam
Sulu (jolo) dan sebagainya. Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam Filipina telah
dibentuk untuk mempersatukan organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.
Menurut Majul, ada tiga
alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh
kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai
undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga,
karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan
bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang
membolehkannya. Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum
yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan
agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar disekolah yang
didirikan pemerintah.
Mereka menghendaki dalam
kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan
agama dan kultur. Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian
yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah
mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hamper disegala bidang
kehidupan.
Mindanao pada hakekatnya adalah kepulauan yang terdiri
dari beberapa pula besar, maupun yang kecil dengan segala bentuk keragamannya.
Namun semenjak abad ke 12 seiring dengan mulai masuknya Islam di kawasan ini,
Islam telah menjadi identitas dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni
Kasultanan Maguindanao dan Sulu. Berikut ini dijelaskan penyebab terjadinya
konflik yang terjadi di Mindanau. (Suwardono,2013:72)
a. Persaingan antara dua kesultanan
Pertama,
Mindanao sendiri merupakan sebuah gugusan kepulauan yang sebelum abad ke 20
didominasi oleh penduduk Muslim dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni
Kasultanan Sulu dan Maguindanao di sekiatar abad ke 13 M. Kedua kasultanan
Islam di Mindanao ini ada kecederungan saling berkompetisi satu sama lain dalam
memperebutkan pengaruh kepada sekitar 13 etnik yang ada di sekitar kepulauan
Mindanao. Dalam konteks ini, ada kecenderungan konflik Mindanao merupakan
cerminan konflik etnis, yakni antar komunitas etnis Muslim di
Mindanao.(Harmawan,2007:35)
b. Konflik antara muslim Mindanau dengan etnis Visayas
Konflik
antara komunitas muslim Mindanao dengan komunitas etnis Visayas atau Filipino
yang melakukan politik migrasi ke arah selatan. Perpindahan penduduk ini
menjadi masalah yang serius tatkala sekelompok etnis Filipino dengan dibantu
oleh pasukan Filipina melakukan politik genocide di awal dekade 1970-an.
Sejarah konflik ini juga masih mengedepankan corak konflik etnis, etnis
Filipino maupun pemerintah Philipina memandang bahwa masyarakat Moro di
Mindanau di identifikasi sebagai bangsa yang kasar, bodoh, tidak beradab dan
suka melakukan tindakan kekerasan. Begitu juga bangsa masyarakat Moro juga
mempunyai pandanygan yang negatif terhadap kelompok Filipino dan pemerintah
Philipina. Mereka mengidentifikasikan kelompok tersebut sebagai kelompok
penginjilyang akan mencabut keberagaman sebagaiman yang pernah dilakukan oleh
rezim kolonial Spanyol. (Suwardono,2013:75)
c. Pergeseran konflik dari etnis menjadi sparatis
Telah
terjadi pergeseran peta aktor konflik dari bentuk konflik etnis menjadi konflik
separatism, yakni adanya keinginan dari masyarakat Muslim Mindanao yang
kemudian mengidentifikasi diri sebagai Bangsa moro untuk melakukan politik
pemisahan diri sebagai respon dari berbagai ketidakadilan yang diterima
masyarakat Muslim Mindanao baik oleh pemerintah Filipina. Sehingga dalam bentuk
perlawanan kepada pemerintah Filipina, masyarakat muslim Mindanao mempergunakan
konsep Moro dibandingkan dengan Mindanao.
Konflik yang bernuansakan separatisme ini berlangsung
sangat lama, bahkan sampai saat ini gejala konflik di Mindanao lebih difahami
sebagai bentuk konflik separatis dibandingkan dengan konflik primordialis. Ada
kecenderungan besar bahwa sulit terselesaikannya konflik di Mindanao karena
dalam konflik Mindanao telah melahirkan suatu lingkaran konflik yang kompleks
baik dari sisi aktor, issue dan kepentingan-kepentingan baik nasional dan
internasional bagi berlangsungnya konflik. (Harmawan,2007:48)
d. Adanya Perlawanan dari etnis Lumads
Aksentuasi
yang keempat adalah semakin kompleksnya peta aktor konflik di Mindanao karena
merupakan sebuah relasi konflik antar aktor dengan munculnya dua kekuatan besar
yakni etnis Lumads, sebuah etnis local yang masih menganut agama local yang
senantiasa mengidentifikasi diri sebagai pihak yang paling sah untuk mewarisi
Mindanao dan ditambah dengan hadirnya kelompok bersenjata yang berhaluan
komunis, NPA (National People Army).
Sedangkan
dari sisi komunitas muslim Mindanao juga semakin bervariasi semenjak diselenggarakannya
perjanjian damai antara pemerintah Filipina dengan Muslim Mindanao, Tripoli
Agreement 1971 yang justru menyebabkan timbulnya faksionalisasi dalam tubuh
gerakan perlawanan MNLF (Moro National Liberation Front) dengan lahirnya
organisasi perlawanan baru seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan ASG
(Abu Sayyaf Group). (Suwardono,2013:76)
Aktor
atau pilhak pihak yang terlibat konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kelompok Moro
MNLF (Moro National Liberation Front) merupakan
gerakan perlawana yang dipimpin oleh Prof. Nur Misuari, seorang akademisidari
Universitas Philipina. organisasi ini lahir setelah masyarakat Moro di Mindanau
melakukan demonstrasi terhadap Presiden Philipina di Malacanag dan mengeluarkan
manifesto bangsa Moro. Salah satu poin penting dalam Manifesto Bangsa Moro
adalah pilihan politik untuk memisahkan diri dari Philipina karena pemerintah
Philipina dianggap bertanggung jawab terhadap berbagi kekerasan pilotik dan
ekonomi terhadap bangsa Moro maupun masyarakat di Mindanau. (Suwardono,2013:64)
b. Kelompok Kristen Filipino
Penduduk kristen Filipino di Mindanau pada tahun 1910
hanyalah 20% dari penduduk Mindanau. mereka kebanyakan darimasyarakat Luzon
yang sebelumnya bekerja sebagai buruh di lahan-lahan pertanian dan perkebunan
yang dikembangkan oleh Spanyol maupun Amerika Serika, ataupun para minoritas
yang dikirim oleh pemerintah Spanyol dan Amerika Serikat untuk mengajarkan
Kristen sebagai salah satu cara membangun tertib sipil Mindanau.
(Suwardono,2013:67-68)
c. Lumads
Lumads merupakan masyarakat asli Mindanau yang tetap
memegang teguh tradisi dan kediasaan hidup nenk moyang meskipun telah
bersentuhan dengan tradisi baru, baik tradisi Katolik Spanyol ataupun tradisi
Islam. Dalam keberagamaan, masyarakat Lumads memegang teguh tradisi lama dalam
keberagamaan di mana masih mengembangkan tradisi paganisme yakni meyakini bahwa
terdapat kekuatan supra-natural dalam benda benda terentu. Julah penduduk
Lumads hanya sekitar 4% dari total penduduk Mindanao. Dalam Konflik masyarakat
Lumads cenderung bukan menjadi pemain utama.
Masyrakat Lumads berada dalam tarik menarik kekuatan Moro dan kekuatan
Kristen Filipino. (Suwardono,2013:69-70)
d. Pemerintah Philipina
Kepentingan terbesar dari setiap rezim di Philipina
dalam konteks konflik Mindanao adalah bagaimana mempertahankan wilayah Mindanao
sebagai wilayah politik dan administratif dari Philipina. Dalam upaya memper
tahankan wilayah, rezim Phlipina memiliki dua strategi besar yakni dengan
strategi konfrontasi maupun strategi politik berupa perjanjian damai maupun
referendum. (Suwardono,2013:71)
Konflik Moro di Filiphina ini adalah sebuah konflik
yang berkelanjutan dari masa penjajahan sampai masa kemerdekaan bahkan dikatakan
masih berlanjut sampai abad 21 ini. Namun untuk pembahasan dalam konflik ini
babakan waktu yang pakai sampai abad 20. Konflik Moro di Filiphina bervariasi,
bervariasia dalam hal ini berarti konflik ini bukan hanya tertuju dengan satu
pihak saja, namun berbagai pihak. Dapat dikatakan konflik ini berawal masa
penjajahan antara penjajahan Spanyol, Amerika, dan setelah merdeka
bahkan dengan pemerintahan Filiphina sendiri, setelah itu juga dengan para
migran atau dengan kelompok Kristen di Filiphina.
a. Kelompok Moro dengan Spanyol dan Amerika Serikat
Berawal dari penjajahan Spanyol pada abad ke 17,
Spanyol datang membawa kondisi sosial politik yang baru dengan kolonialnya.
Spanyol menduduki Filiphina Utara, dengan menyebarkan agama Kristen. Setelah
menguasai Filiphina Utara dengan daerah Luzon dan sekitarnya. Namun ketika
Spanyol akan menguasai daerah Filiphina Selatan yang mayoritas beragama Islam
tidak berhasil ditaklukan. Perlawanan di Filiphina Selatan dilakukan oleh
Sultan Sulu, Manguindanao, dab Buayan yang oleh orang-orang Spanyol
disebut sebagai orang Moro (karena kulitnya hitam seperti orang Islam di Afrika
Utara) (Wiharyanto, 2011: 39).
Menurut Spanyol Kesultanan Islam merupakan cerminan
masyarakat yang terbelakang, bar bar, kasar dan tidak beradab. Selama
bertahun-tahun Spanyol yang pada itu merupakn salah satu negara super power
bersama Portugis tidak berhasil menguasai wilayah Mindanao. Upaya pemerintah
Spanyol untuk menguasai mindanao dalam kurun waktu 200 tahun tidak berhasil
menguasai wilayah Mindanao baik dalam konteks tujuan politik ekonomi maupuan
penyebaran agama secara keseluruhan. Hanya beberapa wilayah saja di bagian
utara kepulauan Mindanao yang berhasil kuasai yakni di Davao del Norte maupun
Zamboanga del Norte. Berbagai perlawanan telah dilakukan oleh kelompok Moro,
perang melawan Spanyol disebut Perang Moro. (Surwandono 2013: 40-41)
Perang melawan Spanyol membuat hubungan antara
Kasultanan Sulu dan Maguindanao[1] yang awalnya kurang harmonis menjadi
sangat kuat dalam menghadapi pemerintahan Spanyol. Ketika tahun 1898
Amerika Serikat datang ke Filiphina, karena orang-orang Filiphina Selatan tidak
mau membantu pemimpin Filiphina Utara dan Spanyol untuk mengahadapi Amerika,
akhirnya Filiphina jatuh ketangan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan Perjanjian
Paris 10 desember 1898[2]. Pada masa ini Filiphina
Selatan berhasil dikuasai oleh pihak Amerika karena ia berhasil membujuk para
datu agar berpihak kepadanya. Berbeda dengan Spanyol, pemerintahan Amerika
Serikat tidak menunjukkan langsung ”muka” penjajahnya tetapi lebih
mengaburkannya dengan misi yang lebih menekankan pendidikan dan pembangunan.
Kohesifnya koalisi antara kasultanan Sulu dan
Maguindanano dalam mensikapi kemungkinan penetrasi Amerika Serikat di Mindanao
membuat pemerintah Amerika Serikat lebih memilih mengelola dan menguasai di
Mindanao melalui cara-cara budaya, sosial maupun ekonomi dalam bentuk kebijakan
modernisasi Mindanao (Surwandono, 2013: 41). Modernisasi disini
diartikan bahwa Amerika berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan Moro, namun
ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif. Untuk mengangkat desa-desa
tertinggal yang dilakukan oleh orang-orang Filiphina Utara terhadap orang-orang
Filiphina Selatan itupun dianggap sebagai tindakan yang agresi
terhadap orang-orang Moro.
Disisi lain Amerika juga tidak menganjurkan permusuhan
Kristen-Islam, namun Amerika tetap menumbuhkan benih-benih permusuhan karena
Amerika mendatangkan beribu-beribu penetap Kristen kedaerah-daerah Islam. Dalam
kebijakan resmi yang ditempuh Amerika Serikat adalah membiarkan kehidupan agama
orang-orang Moro serta kebiasaan ritualnya tidak terganggu. Karena Filiphina selatan
menentang adanya modernisasi sehingga ketika diperkenalkan akan adanya
pemerintahan modern yang bisa menerima hanyalah kelompok Filiphina Utara. Di
Filiphina Selatan masih menggunakan sisitem tradisional yaitu datu, sikap
Amerika ini memanjakan datu-datu yang mengakui kedaulatan Amerika dan menindans
datu-datu yang keras kepala.
Dan akibatnya yang menduduki jabatan pemerintahan
yaitu orang-orang Filiphina Utara, sedangkan ornag-orang Moro semakin
tertinggal dalam pemerintaha, dan ketika merencanakan akan adanya kemerdekaan
orang-orang Moro ini tidak diikutsertakan. Ketika dikeluarkannya Undang-Undang
Balcon Bill 1926 yang mana Amerika Serikat mendukung pilihan elite Filiphina
yang hendak mengggabungkan wilayah Kasultanan Islam di Mindanao kedalam wilayah
Filiphina. Hal tersebut membuat hubungan antara Kasultanan Islam dengan Amerika
Serikat menjadi kurang baik. Dikeluarkannya hal tersebut membuat kesultanan
Islam Mindanao mengajukan petisi kepada pihak Amerika Serikat agar tidak
dimasukkan kedalam wilayah Filiphina. Menurut Surwandono, (2013: 56) menyatakan
bahwa :
“Langkah ini dilakukan dalam 3 tahap yakni
petisi masyarakat Sulu, tertanggal 9 Juni 1921.kemudian dilanjutkan dengan
petisi, yang sering dikenal dengan Zamboanga Declaration, tertanggal 1 Februari
1924, dan petisi yang terakhir diajukan kembai pada tanggal 18 Maret
1935, yang dikenal dengan Dansalam Declaration, dimana 120 datuk Moro terutama
dari Lanano mengeluarkan “Deklarasi Dansalam” yang menyatakan
pemisahan diri dari pemerintahan persemakmuran dan memilih berada dibawah
protektorat Amerika Serikat sampai masyarakat Moro dapat membentuk pemerintahan
sendiri .”
Meskipun terjadinya petisi-petisi tersebut pada PD II, Amerika Serikat
mampu mengajak orang-orang Moro berjuang dengan orang-orang Filiphina Utara.
Mereka bersama-sama melakukan perang gerilya melawan Jepang. Pada saat itu
semua tidak memperdulikan latar belakang mereka masing-masing. Dengan dibungkus
semangat patrotisme sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang kuat
b. Konflik Mindanao Setelah Kemerdekaan
Penjajahan Amerika Serikat atas Filipina ternyata
tidak sesuai harapan Amerika, daerah jajahan itu tidak dianggap sebagai asset yang
berarti dibidang ekonomi[3]. Keuntungan yang berhasil diperoleh dari
investasi dijajahan Filipina sangat sedikit. Biaya pemerintahan tidak dapat
sepenuhnya ditutupi dari pemasukkan pajak setempat, sementara biaya tersebut
diperbesar oleh tambahan untuk biaya pertahanan militer. Singkatnya, Filipina
secara ekonomis dapat dipandang sebagai merugikan bagi Amerika Serikat.
Filipina memperoleh kemerdekaan dari Amerika Serikat
pada tahun 1946. Namun dengan adanya kemerdekaan Filiphina tidak mengubah
apapun dan tidak mempunyai arti bagi orang-orang Moro. Mereka tetap mengalami
berbagai bentuk diskriminasi dan marjinalisasi seperti; kemiskinan, sulitnya
memperoleh lapangan pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan diwilayah Moro,
bahkan tidak jarang diskriminasi telah mengarah kepada kekerasan militer.
Pemerintah tetap memasukkan wilayah Mindanao kedalam
wilayah administratif Filiphina dan tidak merespon dengan petisi-petisi yang
diajukan oleh orang-orang Moro. Pemerintah Manuel Quezon tidak memerdulikan
tuntutan orang-orang Moro di Mindanao, dan bahkan menempatkan Mindanao sebagai
salah satu aset penting untuk menyelesaikan problem yang ada di Luzon dan
Visayas seperti problem pertanahan dan investasi ekstratif maupun agraris.
Kebijakan itu diambil karena Mindanao merupakan wilayah yang mempunyai
ketersediaan lahan sangat luas dan sumber daya alam untuk investasi yang besar.
Karena tidak adanya respons dari pemerintah yang
membuat kekecewaan Datu Utdog Matalam mendirikan sebuah organisasi MIM (Moro
Independent Movement) yang menginginkan Moro merdeka. Selain adanya MIM juga
lahirnya MNLF (Moro National Liberation Front) organisasi yang dipimpin Nur
Misuari ini sukses mendapatkan dukungan Dunia Internasional termasuk OKI. dan
MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Perkembangan kelompok-kelompok bersenjata Moro
meningkatkan seranganya terhadap kesatuan-kesatuan militer di Filiphina
sehingga banyak tentara pemerintah yang menjadi korban. Sehingga banyak
pasukan-pasukan dari pusat pemerintahan dikirim ke Filiphina Selatan dalam
jumlah besar. Pada bulan Oktober 1972 meletus pemberontakan yang lebih hebat.
Tentara pemberontak mengambil alih pemancar radio pemerintah di Mindanao.
Serangan tersebut dipersiapkan lebih rinci, terbukti sasarannya dipilih dengan
baik dan waktu serangan juga ditetapkan melalui perencaan yang matang.
Gerakan MNFL menyadari bahwa jika tidak ada bantuan
dana dari pihak asing maka mereka tidak akan bisa bertahan melawan tentara
pemerintah. Untuk menyerap dana asing dari luar, MNLF mendirikan perwakilan
diberbagai negara Islam dan melakukan propaganda yang menunjukkan penindasan
pemerintah Filiphina terhadap penduduk Moro (Wiharyanto, 2011 :47). Negara
Libiya yang merupakan negara pertama yang memberikan bantuan tidak terbatas.
Dengan bantuan tidak terbatas ini penduduk Moro ini melengkapi dirinya dengan
senjata-senjata yang mutakhir. Libiya tidak hanya memberikan bantuan dana namun
juga dengan senjata. Juga terjadi pengiriman kader-kader militan MNLF keluar
negeri untuk menjalani latihan militer dengan bantuan dari elite Kasultanan
Mindanao yang kecewa dengan kebijakan pemerintah Marcos. Gelombang pertama
pengiriman pelatihan kombatan MNLF atau yang lebih dikenal sebagai Top 90 dan
termasuk ketua MNLF Nur Misuari, di Pulau Pangkor dekat Pulau Pinang di
Malaysia melalui fasilitas Libiya (Surwandono, 2013: 59). Selain Libiya dan
Malaysia pada tahun 1980-an , bahwa Syiria melibatkan diri dalam pelatihan
militan Moro.
Selain Moro yang meminta bantuan akan tetapi pihak
dari pemerintah juga meminta bantuan kepada pihak asing untuk menghadapi
pemberontak Moro. Pemerintah Filiphina meminta bantuan senjata kepada Amerika
Serikat, selain Amerika pemerintah Filiphina juga meminta bantuan ke
negara-negara Eropa lainnya. Perlawanan pihak Moro ini semakin kuat dan gigih
untuk melawan pemerintah Filiphina, apalagi ditambah dengan pijakan serta
bantuan yang dimiliki. Karena itu pada tahun 1973 perlawanan bersenjata semakin
meningkat. Dan akhirnya Marcos menyadari bahwa perang yang dilakukan akan
berjalan lama dan benyak menghabiskan biaya. Disamping itu banyak jumlah korban
yang berjatuhan, menyadari hal seperti itu Marcos memilih alternatif politik
untuk memecahkan masalah Moro.
c. Konflik Moro dengan Non Moro di Mindanao
Konflik ini terjadi oleh kelompok Moro dengan
kelompok Non Moro di Mindanao. Konflik ini dimulai ketika kelompok
Non Moro atau para migran mengambil alih tanah orang Moro di Mindanao. Pada
tahun 1918, jumlah penduduk Moro di Mindanao mencapai 80% penduduk Moro dan Non
Moro di Mindanao 20 %. Masyarakat Moro menempatai 18 wilayah dari 20 wilayah di
Mindanao. Dan pada tahun 1970 penduduk Moro di Mindanao tinggal 20%
dan menempati 13 wilayah di Mindanao, sedangkan penduduk Non Moro menjadi 80%
dengan menempati 18 wilayah (Surwandono, 2013: 45). Dari pernyataan tersebut
dapat disimpulan bahwa pada tahun 1918 dan 1970 terdapat perubahan yang drastis
yang terjadi pada jumlah penduduk Non Moro dan penduduk Moro di Mindanao. Dan
yang menempati 18 wilayah pada tahun 1970 tersebut adalah penduduk
Kristen Mindanao. Perubahan peta kepemilikan tanah menyebabkan konstruksi
pekerjaan masyarakat Mindanao, masyarakat Moro yang sebelumnya menjadi pemilik
tanah, maka berubah menjadi buruh yang mengerjakan tanah dari masyarakat
Kristen.
Konflik pertanahan in kemudian berkembang menjadi
konflik yang berwatak primordial. Kebijakan pemerintah yang memindahkan etnis
Viyasa dan membentuk sebuah kekuatan sipil untuk mengambilalih tanah dan
mempertahankan tanah yang diambil. Pengambilan tanah yang digunakan sering
menggunakan kekerasan bahkan sampai pada pembunuhan. Karena adanya kekuatan
sipil tersebut sehingga mengakibatkan berbagai tragedi diawal dekade 1970-an
dimana 40.000 penduduk Moro dibunuh oleh kelompok sipil bersenjata. Kelompok
tersebut dinamakan dengan kelompok Ilaga, yang melakukan pembantaian kepada
komunitas muslim. Sedangkan pemerintah Maros cenderung membiarkannya, sehingga
yang awalnya konflik pertanahan berubah menjadi konflik agama di Mindanao.
Dari pihak Mindanao juga tidak berdiam diri,
dikalangan elite bangsa Moro dengan kelompok sipilnya yang bernama Baracuda
melakukan perlawanan kepada kelompok Ilaga maupun pemerintah pusat. Kelompok
Baracuda menggunakan agama untuk memacu semangat Bangsa Moro agar tetap gigih
untuk mempertahankan tanah dan harga dirinya. Kelompok ini juga
menginternasionalisasikan konflik ini kedunia islam agar komunitas Islam
diseluruh dunia memberikan bantuan kepada Islam di Mindanao berdasar nama
agama.
Konflik yang berlarut-larut di Mindanao Filipina
selatan bukan tanpa adanyanya usaha dari berbagai pihak untuk mengakhiri
konflik ini. Baik yang dipelopori dari dalam maupun campurtangan pihak asing.
Berikut beberapa usaha penyelesaian yang pernah dilaksanakan:
Upaya peneyelesaian konflik ini diprakarsai oleh OKI
pada tahun 1973 dengan membentuk komisi 4 negara. Ke 4 anggotanya
adalah Libia, Arab Saudi, Senegal dan Somalia untuk menyelidiki kasus kasus
kekerasan yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap Moro.namun bertambah
menjadi 6 negara setelah Indonesia dan Bangladesh sebagai anggotanya.
Hasil dari Tripoli Agreement adalah
diakuinya secarah sah wilayah otonomi Mindanao yang meliputi 13
daerah seperti daerah Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboangan del zur, Zamboangan
del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato, Palawan, serta semua
kota dan desa diwilayah tersebut. Dalam perjanjian ini juga mengatur kawasan
Otonom untuk mendirikan pengadilan syari’ah, sekolah, system administrasi,
system ekonomi dan keuangan, keamanan kawasan, badan perwakilan dan dewan
eksekutif. Hal – hal mengenai kebijakan politik Luar Negeri dan Pertahanan
nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintahan Pusat. Dan membuat wadah
yang mernaman pemerintahan otonomi Moro (ARMM)
Menjelang tahun 90an kekuasan pemerintahan pusat
Filipina terganggu, hal ini membuat faksi-faksi muslim Moro kembali melakukan
mobilisasi kekuatan untuk memanfaatkan moment tersebut untuk mendeklarasikan
pembentukan Negara Moro Merdeka. MNLF yang selama menjalankan Tripoli
Agreement merasa dikapitulasi oleh kebijakan marcos memilih untuk
melanjutkan perjuangan bersenjata untuk pembentukan Negara yang merdeka.
Dalam menghadapi mobilisasi di Minandao presidan
Aquino meminta negosiasi dilakukan lagi, akhirnya disetujui oleh Nur Misuari
pemimpin MNLF. Akhirnya 3 orang dikirim ke Jeddah, Arab Saudi guna
bernegosiasi. Aquino bersedia berunding masalah ekonomi, politik, social dan
budaya kecuali perbincangan tentang isu Moro Merdeka. Hasil dari negosiasi
antara MNLF dan Pemerintah Filipina adalah peningkatan status dari sebelumnya
wilayah otonom menjadi wilayah Otonomi diperluas.
Proses perdamaian di Mindanau selatan terus
berlangasung setelah bergantinya rezim Presiden Aquino dengan Fidel Ramos yang
lebih proaktif. Seiring berjalannya waktu kelompok kelompok miitan seperti
Abbu Sayaf terus melakukan terror dan serangan-serangan di Mindanao, termasuk
melakukan penculikan dengan tebusan. Meskipun kekerasan terus berlangsung Presiden
Ramos tetap akan melanjutkan usaha perdamaian di Mindanao selatan..
Pada tanggal 2 September 1996, Final Peace
Agreement disepakati secara formal dengan disaksikan oleh menteri luar
negeri Indonesia, Ali Alatas dan Sekjen OKI di Jakarta. Dengan menghasilkan 81
Point kesepakatan yang intinya adalah meningkatkan status wilayah otonomi
diperluas menjadi ekonomi khusus. Melaksanakan pemilihan
umum untuk daerah Mindanao dan dimenangkan oleh Nur Misuari dengan 90% suara.
(Surwandono, 2013:127-147)
Konflik dan Kemiskinan 2 hal yang tidak pernah bias
kita pisahkan. Konflik yang berlarut-larut menimbulkan berbagai dampak baik
dalam hal ekonomi dan pendidikan. Konflik yang terjadi menciptakan suatu
kondisi dimana tingkat keamanan sangat rendah, hal ini memengaruhi sistim
ekonomi Moro yang mengalami gangguan khususnya dalam Hal Investasi yang rendah.
Banyak anak-anak moro yang tidak bias bersekolah
akibat sekolahnya digunakan sebagai temppat pengungsian. Infrastruktur rusak
dan rumah-rumah harus ditinggalkan akibat konflikini. Biaya pembangunan kembali
Minandao paska konflik membutuhkan jumlah biaya pembangunan yang tidak sedikit.
Konflik Moro di Minandao Filipina selatan merupaka
konflik berkepanjangan yang belum terselesaikan. Usaha-usaha yang dilakukan
untuk proses perdamaian terus dilakukan beriringan dengan usaha-usaha
kemerdekaan yag terus dikumandangkan oleh para kelompok separatis-separatis
moro untuk membentuk sebuah Negara sendiri yang merdeka dan bebas dari
Intervensi pemerintahan Filipina. Isu-isu agama yang diawa dalam konflik ini
membuat konflik ini semakin memanas. Konflik ini akan terus
berlanjut apabila kamu minoritas muslim difilipina terus mendapat
tekanan-tekanan politik dari pemerintahan pusat. Satu kata yang mereka tuntut
hanyalah merdeka.
Abdullah Taufik, Sharon Siddique, Tradisi dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989
Hermawan, Yulius. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Surwardono. 2013 Manajemen Konflik Separatisme:Dinamika Negosiasi
Dalam Penyelesaian Konflik Mondanao.Yogyakarta: Pusataka pelajar
Offset.
Wiharyanto, A Kardiyat. 2011. Sejarah Asia
Tenggara Dari Awal
Tumbuhnya Nasionalisme Sampai Terbangunnya Kerjasama
Asean. Yogyakarta:
Dharma.
Internet:
id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moro
id.wikipedia.org/wiki/Mindanao
Riswanto, Ridwan Melay, Tugiman. 01 Maret 2014,
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4756/1.Riswanto.pdf?sequence=1 Konflik
Muslim Moro Dengan Pemerintah Filipina Tahun 1968 – 1996 (Suatu
Kajian Historis).
Anonim. 2013. Perjanjian Paris. Online
(http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Paris_%281898%29). Diakses tanggal 01
Maret 2014.
[1] Sultan Sulu merupakan gejala Islam Kultur dimana
banyak menerima bentuk-bentuk akulturasi dengan budaya lokal. Dan Sultan
Manguindanao merupakan gejala Islam Puritan dimana tidak banyak menerima
bentuk-bentuk akulturasi dan sinkritisme dengan budaya lokal.
[2] Menurut perjanjian tersebut, Amerika Serikat membayar Spanyol AS$20 juta untuk kepemilikan Guam, Puerto Riko, dan Filipina yang telah berpikir untuk
membebaskan diri mereka dari pemerintahan kolonial yang kemudian memerangi
Amerika Serikat dalam Perang
Filipina-Amerika. Puerto Riko dan Guam juga di bawah kuasa Amerika,
dan Spanyol melepas klaimnya terhadap Kuba.
Kekalahan ini menutup Kekaisaran Spanyol,
dan menandakan awal periode kuasa kolonial Amerika Serikat (wikipedia : 2013).
[3] Dikutip dari artikel Riswanto
yang berjudul Konflik Muslim Moro Dengan Pemerintah Filipina Tahun 1968 –
1996 (Suatu Kajian Historis), online, (http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4756/1.Riswanto.pdf?sequence=1), diakses tanggal 01 Maret 2014.
like..
ReplyDelete