Thursday, October 16, 2014


oleh 
Sigit Rahmanto



Abstrak
Konflik Moro di Mindanau Filipina Selatan  merupakan sebuah konflik yang terjadi berkepanjangan. Akar dari masalah konflik ini berawal sangat jauh yakni pada masa kolonialisme Spanyol yang ada di Filipina. Berlanjut lagi konflik ini pada masa Penjajahan Amerika kemudian Jepan dan pada masa setelah Filipina Merdeka.Isu-isu agama yang diawal dalam konflik ini membuat konflik ini semakin  memanas. Konflik ini akan terus berlanjut apabila kamu minoritas muslim difilipina terus mendapat tekanan-tekanan politik dari pemerintahan pusat. Satu kata yang mereka tuntut hanyalah merdeka.
         Kata Kunci : Moro , Konflik, Filipina

Kondisi Awal Masyarakat Mindanao
1.      Masyarakat Di Mindanao Sebelum Islam
 Gambaran  Masyarakat Mindanao sebelum Islam sangatlah memiliki pemahaman yang kuat terhadap tradisi yang telah lama di lakukan oleh masyarakat Mindanao, yaitu tentang pemahaman antara makhluk hidup dengan alam. Disana alam sangatlah dihargai dikarenakan alamlah yang menentukan kehidupan dan kehidupan masyarakat Mindanao, alamlah yang memberikan kehidupan bagi masyarakat. Moyang masyarakat Mindanao mitosnya dilahirkan dari batu. Dalam konteks antropologi, masyarakat Mindanao awal dipahami sebagai masyarakat animisme, yakni masyarakat yang mempercayai suatu benda memiliki kekuatan yang besar dan lebih besar dari manusia yang bersumberkan dari alam.
Masyarakat animisme merupakan masyarakat cenderung ramah terhadap alam, sehingga pola kehidupan ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya alam tidak terlalu eksploitatif. Alam diyakini akan memenuhi segala kebutuhan hidup dan lain-lainnya masyarakat Mindanao, oleh karena itu masyarakatnya tidak terlalu melakukan eksploitasi kepada alam. Corak ekonomi masyarakat Mindanao cenderung mengarah pada pola ekonomi subtensi, pola hidup yang lebih menekankan kepada upaya memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhan yang paling mendasar saja.
Masyarakat Mindanao lebih dikenal sebagai masyarakat agraris daripada masyarakat pantai. Hal ini dikarenakan masyarakat Mindanao lebih banyak tinggal di daerah sekitar pegunungan atau sekitar danau, untuk menghindari meluapnya air laut maupun air sungai. Pilihan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi geografis Mindanao sebagai daerah banjir, maka dari itu makna dari kata Mindanao adalah “daerah banjir”. (Suwardono, 2013:29)
Tradisi perdagangan di Mindanao masih menggunakan system barter. Namun setelah datangnya Islam, masyarakat Mindanao dikenalkan dengan system tukar menukan menggunakan uang dan dikenalkan system kapal, sehingga masyarakat Mindanao bisa melakukan perdagangan dengan masyarakat dari pulau lain.
Kepemimpinan di Mindanao sebelum datangnya Islam ialah dipimpin oleh seorang Datu, yakni seorang pemimpin tradisional yang memiliki kekuatan magis dan mampu mengelola tanah yang luas. Datu diyakini masyarakat sebagai seseorang yang bisa mengetahui segala sesuatu, seperti kondisi alam dan mengendalikan sesuatu. Hal ini menempatkan Datu sebagai sumber pengetahuan, budaya dan tradisi di masyarakat Mindanao.
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.
Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Adapula pendapat yang lain mengenai masuknya Islam datang kekepulaun Sulu. Bahwasannya Islam datang ke Sulu pada abad ke-9 melalui perdagangan. Tapi itu tidak menjadi faktor yang penting dalam sejarah Sulu, sampai abad ke 13 ketika orang-orang menyebarkan Islam (da’i) mulai pertama kali tinggal di Buasna (Jolo) kemudian di daerah-daerah lain kepulauan Sulu.
Islam di asia menurut Dr. Hamid mempunyai 3 bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas penduduk.Kedua, kelompok minoritas Islam.Ketiga, kelompok negera negara Islam tertindas.
Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merukan salah satu kelompok minoritas diantara negara - negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah 44.300.000 jiwa.Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.
Hal itu pastinya tidak lepas dari sejarah latar belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai saat ini.
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah,
Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.
Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman).Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen.

2.      Perkembangan Islam di Filipina
Mayoritas penduduk Filipina beragama Katolik, walaupun katolik menjadi agama mayoritas, tetapi di Filipina terdapat tiga ribu masjid, terutama di selatan. Muslim Filipina secara tradisional memerintah dan menduduki pulau-pulau Mindanao, Sulu dan Palawan termasuk sebagian Manila dan daerah-daerah pantai utara. Namun menurut Abdullah, Taufik (:341-342) sebagian besar masyarakat Muslim terpusat di dua wilayah otonom Filipina Selatan. Penduduk Filipina sekitar 85.236.900 juta pada tahun 2006 dan setiap tahunnya pertumbuhan penduduknya 1,92% dengan luas wilayah 300.076 km terdiri dari 7.107 pulau. Penduduknya terdiri dari beberapa suku yaitu suku Filipino 80%, Tionghoa 10%, Indo Arya 5%, Eropa dan Amerika 2%, Arab 1%, suku lain 2%.
Kota Marawi dan Jolo dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi komunitas muslim. Kitab suci alQur’an telah diterjemahkan oleh dr.Ahmad Domacao Alonto kedalaam bahasa Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan muslim kebanyakan muslim di Moro adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak berarti. Asosiasi islam yang paaling aktif adalah Asosiasi Muslim Filipina (Manila), Ansar al Islam(Kota Marawi), Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam Sulu (jolo) dan sebagainya. Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.
Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga, karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkannya. Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah.
Mereka menghendaki dalam kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama dan kultur. Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hamper disegala bidang kehidupan.
  
B.     Konflik Yang Terjadi Di Mindanao

1.      Penyebab Timbulnya Konflik Di Mindanao
Mindanao pada hakekatnya adalah kepulauan yang terdiri dari beberapa pula besar, maupun yang kecil dengan segala bentuk keragamannya. Namun semenjak abad ke 12 seiring dengan mulai masuknya Islam di kawasan ini, Islam telah menjadi identitas dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Maguindanao dan Sulu. Berikut ini dijelaskan penyebab terjadinya konflik yang terjadi di Mindanau. (Suwardono,2013:72)

a.      Persaingan antara dua kesultanan
            Pertama, Mindanao sendiri merupakan sebuah gugusan kepulauan yang sebelum abad ke 20 didominasi oleh penduduk Muslim dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Sulu dan Maguindanao di sekiatar abad ke 13 M. Kedua kasultanan Islam di Mindanao ini ada kecederungan saling berkompetisi satu sama lain dalam memperebutkan pengaruh kepada sekitar 13 etnik yang ada di sekitar kepulauan Mindanao. Dalam konteks ini, ada kecenderungan konflik Mindanao merupakan cerminan konflik etnis, yakni antar komunitas etnis Muslim di Mindanao.(Harmawan,2007:35)

b.      Konflik antara muslim Mindanau dengan etnis Visayas
            Konflik antara komunitas muslim Mindanao dengan komunitas etnis Visayas atau Filipino yang melakukan politik migrasi ke arah selatan. Perpindahan penduduk ini menjadi masalah yang serius tatkala sekelompok etnis Filipino dengan dibantu oleh pasukan Filipina melakukan politik genocide di awal dekade 1970-an. Sejarah konflik ini juga masih mengedepankan corak konflik etnis, etnis Filipino maupun pemerintah Philipina memandang bahwa masyarakat Moro di Mindanau di identifikasi sebagai bangsa yang kasar, bodoh, tidak beradab dan suka melakukan tindakan kekerasan. Begitu juga bangsa masyarakat Moro juga mempunyai pandanygan yang negatif terhadap kelompok Filipino dan pemerintah Philipina. Mereka mengidentifikasikan kelompok tersebut sebagai kelompok penginjilyang akan mencabut keberagaman sebagaiman yang pernah dilakukan oleh rezim kolonial Spanyol. (Suwardono,2013:75)

c.       Pergeseran konflik dari etnis menjadi sparatis
                        Telah terjadi pergeseran peta aktor konflik dari bentuk konflik etnis menjadi konflik separatism, yakni adanya keinginan dari masyarakat Muslim Mindanao yang kemudian mengidentifikasi diri sebagai Bangsa moro untuk melakukan politik pemisahan diri sebagai respon dari berbagai ketidakadilan yang diterima masyarakat Muslim Mindanao baik oleh pemerintah Filipina. Sehingga dalam bentuk perlawanan kepada pemerintah Filipina, masyarakat muslim Mindanao mempergunakan konsep Moro dibandingkan dengan Mindanao.  
Konflik yang bernuansakan separatisme ini berlangsung sangat lama, bahkan sampai saat ini gejala konflik di Mindanao lebih difahami sebagai bentuk konflik separatis dibandingkan dengan konflik primordialis. Ada kecenderungan besar bahwa sulit terselesaikannya konflik di Mindanao karena dalam konflik Mindanao telah melahirkan suatu lingkaran konflik yang kompleks baik dari sisi aktor, issue dan kepentingan-kepentingan baik nasional dan internasional bagi berlangsungnya konflik. (Harmawan,2007:48)

d.      Adanya Perlawanan dari etnis Lumads
            Aksentuasi yang keempat adalah semakin kompleksnya peta aktor konflik di Mindanao karena merupakan sebuah relasi konflik antar aktor dengan munculnya dua kekuatan besar yakni etnis Lumads, sebuah etnis local yang masih menganut agama local yang senantiasa mengidentifikasi diri sebagai pihak yang paling sah untuk mewarisi Mindanao dan ditambah dengan hadirnya kelompok bersenjata yang berhaluan komunis, NPA (National People Army).
            Sedangkan dari sisi komunitas muslim Mindanao juga semakin bervariasi semenjak diselenggarakannya perjanjian damai antara pemerintah Filipina dengan Muslim Mindanao, Tripoli Agreement 1971 yang justru menyebabkan timbulnya faksionalisasi dalam tubuh gerakan perlawanan MNLF (Moro National Liberation Front) dengan lahirnya organisasi perlawanan baru seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan ASG (Abu Sayyaf Group). (Suwardono,2013:76)
            Aktor atau pilhak pihak yang terlibat konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a.      Kelompok Moro
MNLF (Moro National Liberation Front) merupakan gerakan perlawana yang dipimpin oleh Prof. Nur Misuari, seorang akademisidari Universitas Philipina. organisasi ini lahir setelah masyarakat Moro di Mindanau melakukan demonstrasi terhadap Presiden Philipina di Malacanag dan mengeluarkan manifesto bangsa Moro. Salah satu poin penting dalam Manifesto Bangsa Moro adalah pilihan politik untuk memisahkan diri dari Philipina karena pemerintah Philipina dianggap bertanggung jawab terhadap berbagi kekerasan pilotik dan ekonomi terhadap bangsa Moro maupun masyarakat di Mindanau. (Suwardono,2013:64)

b.      Kelompok Kristen Filipino
Penduduk kristen Filipino di Mindanau pada tahun 1910 hanyalah 20% dari penduduk Mindanau. mereka kebanyakan darimasyarakat Luzon yang sebelumnya bekerja sebagai buruh di lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang dikembangkan oleh Spanyol maupun Amerika Serika, ataupun para minoritas yang dikirim oleh pemerintah Spanyol dan Amerika Serikat untuk mengajarkan Kristen sebagai salah satu cara membangun tertib sipil Mindanau. (Suwardono,2013:67-68)

c.       Lumads
Lumads merupakan masyarakat asli Mindanau yang tetap memegang teguh tradisi dan kediasaan hidup nenk moyang meskipun telah bersentuhan dengan tradisi baru, baik tradisi Katolik Spanyol ataupun tradisi Islam. Dalam keberagamaan, masyarakat Lumads memegang teguh tradisi lama dalam keberagamaan di mana masih mengembangkan tradisi paganisme yakni meyakini bahwa terdapat kekuatan supra-natural dalam benda benda terentu. Julah penduduk Lumads hanya sekitar 4% dari total penduduk Mindanao. Dalam Konflik masyarakat Lumads cenderung bukan menjadi pemain utama.
Masyrakat Lumads berada dalam tarik menarik kekuatan Moro dan kekuatan Kristen Filipino. (Suwardono,2013:69-70)

d.      Pemerintah Philipina
Kepentingan terbesar dari setiap rezim di Philipina dalam konteks konflik Mindanao adalah bagaimana mempertahankan wilayah Mindanao sebagai wilayah politik dan administratif dari Philipina. Dalam upaya memper tahankan wilayah, rezim Phlipina memiliki dua strategi besar yakni dengan strategi konfrontasi maupun strategi politik berupa perjanjian damai maupun referendum. (Suwardono,2013:71)

2.      Jalannya Konflik  Di Mindanao Filipina Selatan
Konflik Moro di Filiphina ini adalah sebuah konflik yang berkelanjutan dari masa penjajahan sampai masa kemerdekaan bahkan dikatakan masih berlanjut sampai abad 21 ini. Namun untuk pembahasan dalam konflik ini babakan waktu yang pakai sampai abad 20. Konflik Moro di Filiphina bervariasi, bervariasia dalam hal ini berarti konflik ini bukan hanya tertuju dengan satu pihak saja, namun berbagai pihak. Dapat dikatakan konflik ini berawal masa penjajahan antara penjajahan Spanyol, Amerika, dan setelah  merdeka bahkan dengan pemerintahan Filiphina sendiri, setelah itu juga dengan para migran atau dengan kelompok Kristen di Filiphina.

a.      Kelompok Moro dengan Spanyol dan Amerika Serikat
Berawal dari penjajahan Spanyol pada abad ke 17, Spanyol datang membawa kondisi sosial politik yang baru dengan kolonialnya. Spanyol menduduki Filiphina Utara, dengan menyebarkan agama Kristen. Setelah menguasai Filiphina Utara dengan daerah Luzon dan sekitarnya. Namun ketika Spanyol akan menguasai daerah Filiphina Selatan yang mayoritas beragama Islam tidak berhasil ditaklukan. Perlawanan di Filiphina Selatan dilakukan oleh Sultan Sulu, Manguindanao, dab Buayan  yang oleh orang-orang Spanyol disebut sebagai orang Moro (karena kulitnya hitam seperti orang Islam di Afrika Utara) (Wiharyanto, 2011: 39).
Menurut Spanyol Kesultanan Islam merupakan cerminan masyarakat yang terbelakang, bar bar, kasar dan tidak beradab. Selama bertahun-tahun Spanyol yang pada itu merupakn salah satu negara super power bersama Portugis tidak berhasil menguasai wilayah Mindanao. Upaya pemerintah Spanyol untuk menguasai mindanao dalam kurun waktu 200 tahun tidak berhasil menguasai wilayah Mindanao baik dalam konteks tujuan politik ekonomi maupuan penyebaran agama secara keseluruhan. Hanya beberapa wilayah saja di bagian utara kepulauan Mindanao yang berhasil kuasai yakni di Davao del Norte maupun Zamboanga del Norte. Berbagai perlawanan telah dilakukan oleh kelompok Moro, perang melawan Spanyol disebut Perang Moro. (Surwandono 2013: 40-41)
Perang melawan Spanyol membuat hubungan antara Kasultanan Sulu dan Maguindanao[1] yang awalnya kurang harmonis menjadi sangat kuat dalam menghadapi pemerintahan Spanyol.  Ketika tahun 1898 Amerika Serikat datang ke Filiphina, karena orang-orang Filiphina Selatan tidak mau membantu pemimpin Filiphina Utara dan Spanyol untuk mengahadapi Amerika, akhirnya Filiphina jatuh ketangan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan Perjanjian Paris 10 desember 1898[2].  Pada masa ini Filiphina Selatan berhasil dikuasai oleh pihak Amerika karena ia berhasil membujuk para datu agar berpihak kepadanya. Berbeda dengan Spanyol, pemerintahan Amerika Serikat tidak menunjukkan langsung ”muka” penjajahnya tetapi lebih mengaburkannya dengan misi yang lebih menekankan pendidikan dan pembangunan.
Kohesifnya koalisi antara kasultanan Sulu dan Maguindanano dalam mensikapi kemungkinan penetrasi Amerika Serikat di Mindanao membuat pemerintah Amerika Serikat lebih memilih mengelola dan menguasai di Mindanao melalui cara-cara budaya, sosial maupun ekonomi dalam bentuk kebijakan modernisasi Mindanao  (Surwandono, 2013: 41). Modernisasi disini diartikan bahwa Amerika berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan Moro, namun ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif. Untuk mengangkat desa-desa tertinggal yang dilakukan oleh orang-orang Filiphina Utara terhadap orang-orang Filiphina Selatan  itupun dianggap sebagai tindakan yang agresi terhadap orang-orang Moro.
Disisi lain Amerika juga tidak menganjurkan permusuhan Kristen-Islam, namun Amerika tetap menumbuhkan benih-benih permusuhan karena Amerika mendatangkan beribu-beribu penetap Kristen kedaerah-daerah Islam. Dalam kebijakan resmi yang ditempuh Amerika Serikat adalah membiarkan kehidupan agama orang-orang Moro serta kebiasaan ritualnya tidak terganggu. Karena Filiphina selatan menentang adanya modernisasi sehingga ketika diperkenalkan akan adanya pemerintahan modern yang bisa menerima hanyalah kelompok Filiphina Utara. Di Filiphina Selatan masih menggunakan sisitem tradisional yaitu datu, sikap Amerika ini memanjakan datu-datu yang mengakui kedaulatan Amerika dan menindans datu-datu yang keras kepala.
Dan akibatnya yang menduduki jabatan pemerintahan yaitu orang-orang Filiphina Utara, sedangkan ornag-orang Moro semakin tertinggal dalam pemerintaha, dan ketika merencanakan akan adanya kemerdekaan orang-orang Moro ini tidak diikutsertakan. Ketika dikeluarkannya Undang-Undang Balcon Bill 1926 yang mana Amerika Serikat mendukung pilihan elite Filiphina yang hendak mengggabungkan wilayah Kasultanan Islam di Mindanao kedalam wilayah Filiphina. Hal tersebut membuat hubungan antara Kasultanan Islam dengan Amerika Serikat menjadi kurang baik. Dikeluarkannya hal tersebut membuat kesultanan Islam Mindanao mengajukan petisi kepada pihak Amerika Serikat agar tidak dimasukkan kedalam wilayah Filiphina. Menurut Surwandono, (2013: 56) menyatakan bahwa :
“Langkah  ini dilakukan dalam 3 tahap yakni petisi masyarakat Sulu, tertanggal 9 Juni 1921.kemudian dilanjutkan dengan petisi, yang sering dikenal dengan Zamboanga Declaration, tertanggal 1 Februari 1924, dan  petisi yang terakhir diajukan kembai pada tanggal 18 Maret 1935, yang dikenal dengan Dansalam Declaration, dimana 120 datuk Moro terutama dari Lanano mengeluarkan “Deklarasi Dansalam” yang  menyatakan pemisahan diri dari pemerintahan persemakmuran dan memilih berada dibawah protektorat Amerika Serikat sampai masyarakat Moro dapat membentuk pemerintahan sendiri .”
Meskipun terjadinya petisi-petisi tersebut pada PD II, Amerika Serikat mampu mengajak orang-orang Moro berjuang dengan orang-orang Filiphina Utara. Mereka bersama-sama melakukan perang gerilya melawan Jepang. Pada saat itu semua tidak memperdulikan latar belakang mereka masing-masing. Dengan dibungkus semangat patrotisme sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang kuat

b.      Konflik  Mindanao Setelah  Kemerdekaan
Penjajahan Amerika Serikat atas Filipina ternyata tidak sesuai harapan Amerika, daerah jajahan itu tidak dianggap sebagai asset yang berarti dibidang ekonomi[3]. Keuntungan yang berhasil diperoleh dari investasi dijajahan Filipina sangat sedikit. Biaya pemerintahan tidak dapat sepenuhnya ditutupi dari pemasukkan pajak setempat, sementara biaya tersebut diperbesar oleh tambahan untuk biaya pertahanan militer. Singkatnya, Filipina secara ekonomis dapat dipandang sebagai merugikan bagi Amerika Serikat.
Filipina memperoleh kemerdekaan dari Amerika Serikat pada tahun 1946. Namun dengan adanya kemerdekaan Filiphina tidak mengubah apapun dan tidak mempunyai arti bagi orang-orang Moro. Mereka tetap mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan marjinalisasi seperti; kemiskinan, sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan diwilayah Moro, bahkan tidak jarang diskriminasi telah mengarah kepada kekerasan militer.
Pemerintah tetap memasukkan wilayah Mindanao kedalam wilayah administratif Filiphina dan tidak merespon dengan petisi-petisi yang diajukan oleh orang-orang Moro. Pemerintah Manuel Quezon tidak memerdulikan tuntutan orang-orang Moro di Mindanao, dan bahkan menempatkan Mindanao sebagai salah satu aset penting untuk menyelesaikan problem yang ada di Luzon dan Visayas seperti problem pertanahan dan investasi ekstratif maupun agraris. Kebijakan itu diambil karena Mindanao merupakan wilayah yang mempunyai ketersediaan lahan sangat luas dan sumber daya alam untuk investasi yang besar.
Karena tidak adanya respons dari pemerintah yang membuat kekecewaan Datu Utdog Matalam mendirikan sebuah organisasi MIM (Moro Independent Movement) yang menginginkan Moro merdeka. Selain adanya MIM juga lahirnya MNLF (Moro National Liberation Front) organisasi yang dipimpin Nur Misuari ini sukses mendapatkan dukungan Dunia Internasional termasuk OKI. dan MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Perkembangan kelompok-kelompok bersenjata Moro meningkatkan seranganya terhadap kesatuan-kesatuan militer di Filiphina sehingga banyak tentara pemerintah yang menjadi korban. Sehingga banyak pasukan-pasukan dari pusat pemerintahan dikirim ke Filiphina Selatan dalam jumlah besar. Pada bulan Oktober 1972 meletus pemberontakan yang lebih hebat. Tentara pemberontak mengambil alih pemancar radio pemerintah di Mindanao. Serangan tersebut dipersiapkan lebih rinci, terbukti sasarannya dipilih dengan baik dan waktu serangan juga ditetapkan melalui perencaan yang matang.
Gerakan MNFL menyadari bahwa jika tidak ada bantuan dana dari pihak asing maka mereka tidak akan bisa bertahan melawan tentara pemerintah. Untuk menyerap dana asing dari luar, MNLF mendirikan perwakilan diberbagai negara Islam dan melakukan propaganda yang menunjukkan penindasan pemerintah Filiphina terhadap penduduk Moro (Wiharyanto, 2011 :47).  Negara Libiya yang merupakan negara pertama yang memberikan bantuan tidak terbatas. Dengan bantuan tidak terbatas ini penduduk Moro ini melengkapi dirinya dengan senjata-senjata yang mutakhir. Libiya tidak hanya memberikan bantuan dana namun juga dengan senjata. Juga terjadi pengiriman kader-kader militan MNLF keluar negeri untuk menjalani latihan militer dengan bantuan dari elite Kasultanan Mindanao yang kecewa dengan kebijakan pemerintah Marcos. Gelombang pertama pengiriman pelatihan kombatan MNLF atau yang lebih dikenal sebagai Top 90 dan termasuk ketua MNLF Nur Misuari, di Pulau Pangkor dekat Pulau Pinang di Malaysia melalui fasilitas Libiya (Surwandono, 2013: 59). Selain Libiya dan Malaysia pada tahun 1980-an , bahwa Syiria melibatkan diri dalam pelatihan militan Moro.
Selain Moro yang meminta bantuan akan tetapi pihak dari pemerintah juga meminta bantuan kepada pihak asing untuk menghadapi pemberontak Moro. Pemerintah Filiphina meminta bantuan senjata kepada Amerika Serikat, selain Amerika pemerintah Filiphina juga meminta bantuan ke negara-negara Eropa lainnya. Perlawanan pihak Moro ini semakin kuat dan gigih untuk melawan pemerintah Filiphina, apalagi ditambah dengan pijakan serta bantuan yang dimiliki. Karena itu pada tahun 1973 perlawanan bersenjata semakin meningkat. Dan akhirnya Marcos menyadari bahwa perang yang dilakukan akan berjalan lama dan benyak menghabiskan biaya. Disamping itu banyak jumlah korban yang berjatuhan, menyadari hal seperti itu Marcos memilih alternatif politik untuk memecahkan masalah Moro.

c.       Konflik Moro dengan Non Moro di Mindanao
Konflik ini terjadi oleh kelompok Moro dengan kelompok  Non Moro di Mindanao. Konflik ini dimulai ketika kelompok Non Moro atau para migran mengambil alih tanah orang Moro di Mindanao. Pada tahun 1918, jumlah penduduk Moro di Mindanao mencapai 80% penduduk Moro dan Non Moro di Mindanao 20 %. Masyarakat Moro menempatai 18 wilayah dari 20 wilayah di Mindanao. Dan  pada tahun 1970 penduduk Moro di Mindanao tinggal 20% dan menempati 13 wilayah di Mindanao, sedangkan penduduk Non Moro menjadi 80% dengan menempati 18 wilayah (Surwandono, 2013: 45). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulan bahwa pada tahun 1918 dan 1970 terdapat perubahan yang drastis yang terjadi pada jumlah penduduk Non Moro dan penduduk Moro di Mindanao. Dan yang menempati 18 wilayah pada tahun 1970 tersebut adalah  penduduk Kristen Mindanao. Perubahan peta kepemilikan tanah menyebabkan konstruksi pekerjaan masyarakat Mindanao, masyarakat Moro yang sebelumnya menjadi pemilik tanah, maka berubah menjadi buruh yang mengerjakan tanah dari masyarakat Kristen.
Konflik pertanahan in kemudian berkembang menjadi konflik yang berwatak primordial. Kebijakan pemerintah yang memindahkan etnis Viyasa dan membentuk sebuah kekuatan sipil untuk mengambilalih tanah dan mempertahankan tanah yang diambil. Pengambilan tanah yang digunakan sering menggunakan kekerasan bahkan sampai pada pembunuhan. Karena adanya kekuatan sipil tersebut sehingga mengakibatkan berbagai tragedi diawal dekade 1970-an dimana 40.000 penduduk Moro dibunuh oleh kelompok sipil bersenjata. Kelompok tersebut dinamakan dengan kelompok Ilaga, yang melakukan pembantaian kepada komunitas muslim. Sedangkan pemerintah Maros cenderung membiarkannya, sehingga yang awalnya konflik pertanahan berubah menjadi konflik agama di Mindanao.
Dari pihak Mindanao juga tidak berdiam diri, dikalangan elite bangsa Moro dengan kelompok sipilnya yang bernama Baracuda melakukan perlawanan kepada kelompok Ilaga maupun pemerintah pusat. Kelompok Baracuda menggunakan agama untuk memacu semangat Bangsa Moro agar tetap gigih untuk mempertahankan tanah dan harga dirinya. Kelompok ini juga menginternasionalisasikan konflik ini kedunia islam agar komunitas Islam diseluruh dunia memberikan bantuan kepada Islam di Mindanao berdasar nama agama.


C.    Penyelesaian Konflik Mindanao
Konflik yang berlarut-larut di Mindanao Filipina selatan bukan tanpa adanyanya usaha dari berbagai pihak untuk mengakhiri konflik ini. Baik yang dipelopori dari dalam maupun campurtangan pihak asing. Berikut beberapa usaha penyelesaian yang pernah dilaksanakan:

1.      Negosiasi dalam Tripoli Agreement 1976
Upaya peneyelesaian konflik ini diprakarsai oleh OKI pada tahun 1973 dengan membentuk komisi 4 negara.  Ke 4 anggotanya adalah Libia, Arab Saudi, Senegal dan Somalia untuk menyelidiki kasus kasus kekerasan yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap Moro.namun bertambah menjadi 6 negara setelah Indonesia dan Bangladesh sebagai anggotanya.
Hasil dari Tripoli Agreement adalah diakuinya secarah sah  wilayah otonomi Mindanao yang meliputi 13 daerah seperti daerah Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboangan del zur, Zamboangan del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato, Palawan, serta semua kota dan desa diwilayah tersebut. Dalam perjanjian ini juga mengatur kawasan Otonom untuk mendirikan pengadilan syari’ah, sekolah, system administrasi, system ekonomi dan keuangan, keamanan kawasan, badan perwakilan dan dewan eksekutif. Hal – hal mengenai kebijakan politik Luar Negeri dan Pertahanan nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintahan Pusat. Dan membuat wadah yang mernaman pemerintahan otonomi Moro (ARMM)

2.      Negosiasi dalam Jeddah Accord 1987
Menjelang tahun 90an kekuasan pemerintahan pusat Filipina terganggu, hal ini membuat faksi-faksi muslim Moro kembali melakukan mobilisasi kekuatan untuk memanfaatkan moment tersebut untuk mendeklarasikan pembentukan Negara Moro Merdeka. MNLF yang selama menjalankan Tripoli Agreement merasa dikapitulasi oleh kebijakan marcos memilih untuk melanjutkan perjuangan bersenjata untuk pembentukan Negara yang merdeka.
Dalam menghadapi mobilisasi di Minandao presidan Aquino meminta negosiasi dilakukan lagi, akhirnya disetujui oleh Nur Misuari pemimpin MNLF. Akhirnya 3 orang dikirim ke Jeddah, Arab Saudi guna bernegosiasi. Aquino bersedia berunding masalah ekonomi, politik, social dan budaya kecuali perbincangan tentang isu Moro Merdeka. Hasil dari negosiasi antara MNLF dan Pemerintah Filipina adalah peningkatan status dari sebelumnya wilayah otonom menjadi wilayah Otonomi diperluas.

3.      Range Negosiasi dalam Final Peace Agreement 1966
Proses perdamaian di Mindanau selatan terus berlangasung setelah bergantinya rezim Presiden Aquino dengan Fidel Ramos yang lebih proaktif. Seiring berjalannya waktu kelompok kelompok miitan  seperti Abbu Sayaf terus melakukan terror dan serangan-serangan di Mindanao, termasuk melakukan penculikan dengan tebusan. Meskipun kekerasan terus berlangsung  Presiden Ramos tetap akan melanjutkan usaha perdamaian di Mindanao selatan..
Pada tanggal 2 September 1996, Final Peace Agreement disepakati secara formal dengan disaksikan oleh menteri luar negeri Indonesia, Ali Alatas dan Sekjen OKI di Jakarta. Dengan menghasilkan 81 Point kesepakatan yang intinya adalah meningkatkan status wilayah otonomi diperluas  menjadi ekonomi khusus.  Melaksanakan pemilihan umum untuk daerah Mindanao dan dimenangkan oleh Nur Misuari dengan 90% suara. (Surwandono, 2013:127-147)

4.      Dapak Konflik Moro Di Mindanao Selatan
Konflik dan Kemiskinan 2 hal yang tidak pernah bias kita pisahkan. Konflik yang berlarut-larut menimbulkan berbagai dampak baik dalam hal ekonomi dan pendidikan. Konflik yang terjadi menciptakan suatu kondisi dimana tingkat keamanan sangat rendah, hal ini memengaruhi sistim ekonomi Moro yang mengalami gangguan khususnya dalam Hal Investasi yang rendah.
Banyak anak-anak moro yang tidak bias bersekolah akibat sekolahnya digunakan sebagai temppat pengungsian. Infrastruktur rusak dan rumah-rumah harus ditinggalkan akibat konflikini. Biaya pembangunan kembali Minandao paska konflik membutuhkan jumlah biaya pembangunan yang tidak sedikit.


Konflik Moro di Minandao Filipina selatan merupaka konflik berkepanjangan yang belum terselesaikan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk proses perdamaian terus dilakukan beriringan dengan usaha-usaha kemerdekaan yag terus dikumandangkan oleh para kelompok separatis-separatis moro untuk membentuk sebuah Negara sendiri yang merdeka dan bebas dari Intervensi pemerintahan Filipina. Isu-isu agama yang diawa dalam konflik ini membuat konflik ini semakin  memanas. Konflik ini akan terus berlanjut apabila kamu minoritas muslim difilipina terus mendapat tekanan-tekanan politik dari pemerintahan pusat. Satu kata yang mereka tuntut hanyalah merdeka.


           Abdullah Taufik, Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia                  Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989
          
           Hermawan, Yulius2007. Transformasi dalam Studi Hubungan          
                    Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

           Surwardono. 2013 Manajemen Konflik Separatisme:Dinamika Negosiasi       
                   Dalam Penyelesaian Konflik Mondanao.Yogyakarta: Pusataka pelajar 
                   Offset.
  
           Wiharyanto, A Kardiyat. 2011. Sejarah Asia Tenggara Dari Awal 
                    Tumbuhnya Nasionalisme Sampai Terbangunnya Kerjasama 
                    Asean. Yogyakarta: Dharma.

Internet:
id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moro
id.wikipedia.org/wiki/Mindanao
Riswanto, Ridwan Melay, Tugiman. 01 Maret 2014,
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4756/1.Riswanto.pdf?sequence=1 Konflik Muslim Moro Dengan Pemerintah Filipina Tahun 1968 – 1996  (Suatu Kajian Historis).

Anonim. 2013. Perjanjian Paris. Online (http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Paris_%281898%29). Diakses tanggal 01 Maret 2014.


[1] Sultan Sulu merupakan gejala Islam Kultur dimana banyak menerima bentuk-bentuk akulturasi dengan budaya lokal. Dan Sultan Manguindanao merupakan gejala Islam Puritan dimana tidak banyak menerima bentuk-bentuk akulturasi dan sinkritisme dengan budaya lokal.
[2] Menurut perjanjian tersebut, Amerika Serikat membayar Spanyol AS$20 juta untuk kepemilikan GuamPuerto Riko, dan Filipina yang telah berpikir untuk membebaskan diri mereka dari pemerintahan kolonial yang kemudian memerangi Amerika Serikat dalam Perang Filipina-Amerika. Puerto Riko dan Guam juga di bawah kuasa Amerika, dan Spanyol melepas klaimnya terhadap Kuba. Kekalahan ini menutup Kekaisaran Spanyol, dan menandakan awal periode kuasa kolonial Amerika Serikat (wikipedia : 2013).
[3] Dikutip dari artikel Riswanto yang berjudul Konflik Muslim Moro Dengan Pemerintah Filipina Tahun 1968 – 1996  (Suatu Kajian Historis), online, (http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4756/1.Riswanto.pdf?sequence=1), diakses tanggal 01 Maret 2014.


Bagaimana menurut anda blog ini? Bila anda menyukai artikel ini, saya akan sangat senang sekali jika anda bersedia memberikan G +1 ataupun me-Share artikel ini. .Terima kasih. follow me in twitter Sigit Sejarah

1 comment: